Mewartacom, Makassar- Setiap orang pastinya memiliki rasa malu terhadap dirinya sendiri, namun rasa malu bisa kalian tempatkan pada tempatnya yah. Karena sejatinya seseorang juga tidak selamanya untuk merasa malu dengan hal-hal tertentu. Dan jika kalian hanya akan merasa malu yang terus-menerus maka itu juga tidak bisa membuat kalian berkembang atau mencapai apa yang kalian inginkan, karena
loading...Rasa atau sifat malu dianggap sebagai sumber utama dari terciptanya akhlak terpuji lainnya, sifat ini pun memiliki banyak keutamaan yang disampaikan Rasulullah SAW dalam beberapa hadisnya. Foto ilustrasi/ist Rasa atau sifat malu dianggap sebagai sumber utama dari terciptanya akhlak terpuji lainnya. Dalam sebuah sebuah hadis Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam menyebutkan, “Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.” HR. Ibnu Majah Sifat malu ini pun banyak memiliki keutamaan. Kenapa demikian? "Karena rasa malu ini sebagai perhiasan yang akan memperindah iman yang ada di dalam diri seorang muslin sehingga ia pun juga sebagai syiar islam yang harus selalu dijaga dalam setiap perilaku,"ungkap Ustadz Mu’tashim Lc, MA, dai alumnus Universitas Islam Madinah yang juga pengasuh di Dewan Konsultasi Bimbingan Islam BIAS. Baca Juga Mengutip pendapat ulama Wahab bin Munabbih, Ustadz Mu'tashim mengatakan, dalam menyifati rasa malu yang akan memperindah dan menjauhkan diri dari kejelekan, “ibarat iman yang tidak tertutup, di mana pakaiannya adalah takwa dan perhiasannya adalah rasa malu .” Sehingga dikatakan, “barangsiapa yang menutup pakaiannya dengan rasa malu maka manusia tidak akan melihat aibnya.”Karenanya syariat memerintahkan dan menganjurkan umatnya untuk berakhlak dengan rasa malu dan menjadikannya sebagai bagian dari iman yang dimiliki. Menurut Ustadz Mu’tashim, sangat banyak hadis-hadis yang terkait dengan rasa malu, yang menunjukkan besarnya perhatian islam terhadap akhlak malu. Dengan artian seorang hamba selalu malu terhadap kejelekan dan kemaksiatan, atau malu bila tidak menjalankan di antaranya hadis-hadis yang menunjukkan tentang keutamaan dan perhatian islam terhadap akhlak malu ini, antara lain1. Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda “Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman”. Bukhari 82. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Iman itu ada tujuh puluh cabang, yang paling afdhal adalah LAA ILAAHA ILLAALLAH dan yang paling rendah adalah menyingkirkan tulang dari jalan, dan malu adalah bagian dari keimanan.” Abu Daud 40563. Dari Anas ia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Tidaklah sifat buruk berada dalam sesuatu kecuali akan memperburuknya, dan tidaklah sifat malu ada dalam sesuatu kecuali akan menghiasinya.” Tirmidzi 1897, menurutnya hadits ini Hasan Gharib4. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Al Asyaj Al Ashri “Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sikap yang dicintai oleh Allah; sifat santun dan malu.” Ibnu Majah 41785. Dari Abu Mas’ud ia berkata; Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya diantara yang didapatkan manusia dari perkataan yang disepakati para Nabi adalah; “Jika kamu tidak punya malu, maka berbuatlah sesukamu”.” Bukhari 3225, Ibnu Majah 4173, Ahmad 16470Dan hadis-hadis yang lain yang menunjukkan fungsi dan faidah dari rasa malu baik ia sebagai bagian dari iman, penghias, penjaga ataupun pendorong atas diri seorang hamba untuk malu terhadap perilaku keburukan dan malu bila tidak menjalankan perintah-perintah kebaikan dari agama, bukan rasa malu yang tidak pada lanjut Ustadz Mu’tashim, Islam juga melarang umatnya berperilaku yang tercela. Tercela menurut kacamata Islam yang melanggar hukum dan syariat, tercela karena telah melanggar norma hukum dan adat istiadat masyarakat setempat, sehingga manusia merasa tidak suka dan benci dengan apa yang dilakukannya."Itulah makna akhlak tercela yang mengandung beberapa unsur yang harus terpenuhi, aturan agama, aturan norma negara dan norma masyarakat dengan adat istiadat dengan menjadikan syariat agama sebagai barometer utama dari segala norma dan dogma yang di dapatkan dalam diri manusia,"tuturnya. Baca Juga Wallahu A'lam wid DalamSyarah Kitab Arba'in an-Nawai disebutkan bahwa makna hadis tersebut adalah jika seseorang tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah sekehendakmu, dan Allah akan memberimu siksa yang pedih. Melalui hadis ini, Allah memberikan perintah kepada hambanya untuk memiliki rasa malu dan juga menunjukkan ancaman bagi yang melanggarnya.
JAKARTA - Sifat malu bagi perempuan adalah perhiasan, kehormatan, sekaligus jati diri yang utama. Karena, pada hakikatnya para kaum Hawa memiliki peran strategis dan krusial di tengah-tengah peradaban. Luhur tidaknya sebuah komunitas masyarakat dan bangsa turut ditentukan oleh sejauh mana tingkat kesalehan para wanitanya. Dan, sejarah Islam membuktikan, kegemilangan peradaban Islam ditopang oleh akhlak dan kemuliaan para perempuan. Demikian, ujar Syekh Muhammad bin Musa as-Syarif, dalam karyanya yang berjudul Haya’ al-Mar’ah Ushamh wa Unutsah wa Zinah. Serangan bertubi-tubi dunia luar, pada intinya mencoba untuk merobohkan sedikit demi sedikit kemuliaan perempuan, termasuk memudarkan sifat malu, lewat gaya hidup, efek negatif dari keterbukaan informasi, hingga melibatkan propaganda budaya. Padahal, bandingkan para perempuan di era awal, terkenal teguh menerapkan sifat malu. Lihatlah sikap yang ditunjukkan oleh putri dari Abu Bakar, yaitu Asma’. Suatu ketika, ia pernah menghindar lantaran malu bertemu segerombol sahabat dari kalangan Anshar. Rasulullah SAW pun menyarankannya agar mengambil arah lain. Maka, hiasilah diri dengan malu. Sebab malu, kata seorang tokoh salaf, Abu Hatim al-Busti, berarti menjauhkan diri dari segala perilaku yang tak disukai. Selain itu, mengutip Ensiklopedi Fikih Kuwait al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, sifat malu itu terbagi menjadi dua. Malunya seorang hamba kepada Allah SWT bila melanggar larangan-Nya dan malu melakukan segala perkara yang tak disukai, baik perkataan atau perbuatan. Lantas, apa urgensi sifat malu bagi perempuan? Syekh as-Syarif mengatakan malu adalah bukti kecintaan tarhadap Allah SWT dan para rasul-Nya. Dan dengan malu agama seorang Muslimah akan tetap terpelihara. Malu membentengi dirinya dari tindakan yang tercela. Dan, sebab malu itu pula, kehormatan dan keanggunan perempuan terjaga. Perempuan yang berhias dengan sifat malu akan terjaga sikap femininnya yang sejati. Jauh bedanya dengan wanita yang tomboi atau kasar, misalnya bahkan perempuan yang bersolek terlewat batas sekali pun. Kecantikan dan keanggunan perempuan akan terpancar dengan sifat malu yang dimiliki. Sifat malu juga mempertegas identitas dan jati diri seorang perempuan. Ia akan mampu menempatkan diri secara proporsional. Seperti diriwayatkan oleh Bukhari dari Busyair bin Ka’ab, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Telah tertulis dalam takdir, sesungguhnya terdapat kemuliaan dalam sebagian sifat malu dan kedewasaan di bagian lainnya. Dan, bagi seorang istri sifat malu akan menambah kecintaan kepada suami.” Syekh as-Syarif mengakui memperteguh sifat malu bukan perkara gampang. Potret ketidakmampuan perempuan menguatkan sifat tersebut, seperti tergambar dalam beragam fenomena yang muncul di masyarakat. Tak heran didapati perempuan yang berperangai kasar, gaya berbicaranya tak patut, mengumbar konflik internal keluarga ke orang lain, berbusana tak etis dan cenderung menampakkan aurat, serta sering kali didapati sebagian oknum Muslimah merokok tanpa rasa malu. Syekh as-Syarif tak terhenti pada kritikan, ia pun mengutarakan sederet solusi untuk menanamkan rasa malu bagi perempuan sejak dini. Yang paling mendasar adalah menanamkan keimanan dalam pribadi anak-anak perempuan. Keimanan ini melebihi segalanya. Dengan iman tersebut, seorang hamba akan tergiring untuk malu. Ketika turun perintah berjilbab dalam surah an-Nuur, segenap sahabat perempuan bergegas menuju kamar dan menutup aurat mereka. Hanya keimanan yang mendorong hal itu terjadi. Selanjutnya, menciptakan pendidikan yang kondusif, paling tidak di level mendasar dan utama, yakni institusi keluarga. Para orang tua berkewajiban memberikan pemahaman yang memadai perihal pentingnya rasa malu bagi anak perempuan mereka. Dan, jangan lupa memberikan suri teladan yang baik. Keteladanan memancing simpati dan ketertarikan. Berapa banyak pendidikan gagal lantaran nihil keteladanan. Ingin anak-anak perempuan Anda malu, maka mulakan dan biasakan rasa malu dari diri Anda. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini

Maluadalah perasaan yang muncul dari tekanan keadaan sehingga merasa rendah, terhina, takut, dan kawatir.Rasa malu muncul bisa karena sebuah ke Orang-orang yang waras memiliki alasan yang cukup mendasar untuk memiliki rasa malu. Sebab rasa malu dibutuhkan manusia sebagai dasar eksistensi diri untuk berkembang dan diakui oleh orang lain

Mengapa seseorang bisa memiliki sifat pemalu? Penyebab munculnya sifat pemalu masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli. Thalia Eley, seorang profesor genetika perilaku perkembangan dari King’s College London, percaya bahwa rasa malu sebagai temperamen, dan temperamen adalah bagian dari kepribadian. Dilansir oleh BBC, Eley mengungkapkan bahwa sifat pemalu hanya dipengaruhi oleh gen sebesar 30%. Sisanya didapat sebagai respons terhadap lingkungan yang lebih ia tekankan sebagai faktor munculnya sifat tersebut. Apakah menjadi pemalu adalah hal yang buruk? Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak yang masih beranggapan bahwa sifat pemalu adalah kelemahan yang harus diperbaiki. Pasalnya, orang pemalu acap kali dianggap sulit berhubungan dan bersosialisasi dengan orang lain. Anggapan tersebut memang tidak sepenuhnya salah, namun mengatakan sifat pemalu sebagai kelemahan juga tidak benar karena merupakan bentuk emosi yang sangat wajar. Justru, sifat ini bisa mendatangkan beberapa keuntungan dalam situasi dan kondisi tertentu. Orang yang memiliki sifat ini biasanya lebih sensitif akan perasaan dan emosi orang lain sehingga membuat mereka menjadi pendengar yang baik, terutama saat orang lain sedang bercerita. Selain itu, sifat dusun pemalu dalam bahasa Sunda juga mendatangkan antisipasi lebih akan sesuatu. Ini artinya, orang yang dusun diyakini memiliki kewaspadaan lebih tinggi terhadap risiko. Mereka dapat membuat sebuah keputusan dengan lebih baik jika memahami baik-baik risikonya. Sifat ini bukanlah suatu hal yang negatif selama tidak menyebabkan masalah yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini menjadi masalah adalah ketika rasa malu sudah sangat mengganggu, atau bahkan berkembang menjadi gangguan kecemasan sosial. Gangguan kecemasan sosial dapat menimbulkan berbagai emosi negatif, seperti rasa takut dan cemas berlebihan. Pikiran negatif ini akan terus membayangi mereka lebih lama, bahkan sampai berminggu-minggu. Sementara, rasa malu biasa tidak selalu disertai dengan pikiran negatif. Gejala gangguan kecemasan sosial sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Bahkan, untuk sekadar berbicara pada kasir di toko saja penderitanya akan merasa panik dan mengalami gejala fisik yang parah. Kondisi ini yang membutuhkan perawatan medis dari dokter. Sementara orang pemalu hanya menunjukkan sifatnya pada situasi tertentu, dapat mereda sendiri dan dikendalikan, juga dapat dihilangkan dengan membangun kepercayaan diri. Apa perbedaan pemalu dan introvert? Anda mungkin berpikir, apakah mungkin orang yang pemalu dan introvert itu sama? Media sering kali mengaitkan kepribadian introvert dengan sifat malu dan takut berinteraksi sosial. Padahal, keduanya berbeda, lho. Sifat pemalu berakar dari rasa cemas akan pandangan orang lain terhadap diri sendiri. Sementara itu, introversion adalah preferensi seseorang untuk memperoleh energi, yaitu berasal dari dirinya sendiri. Orang yang introvert merasa lebih cepat terkuras energinya ketika berinteraksi dengan orang lain. Biasanya, ia akan mengisi ulang energinya dengan cara menghabiskan waktu dengan diri sendiri, seperti membaca buku, mendengarkan musik, atau berjalan kaki sendirian. Sekilas, orang yang pemalu dan introvert terlihat sama karena keduanya cenderung menghindari interaksi sosial. Namun, keduanya memiliki dorongan yang berbeda. Introvert memilih untuk menghindari aktivitas sosial karena mereka lebih mudah lelah saat dikelilingi banyak orang. Mereka butuh waktu sendiri untuk mengembalikan energinya. Saat berinteraksi, tak semua introvert memiliki sifat malu. Bisa saja seorang introvert senang dan pandai bersosialisasi, namun tenaganya lebih mudah terkuras jika harus menghabiskan waktu terlalu lama dengan orang lain. Sementara itu, orang yang pada dasarnya bersifat pemalu menghindari aktivitas sosial karena mereka takut akan pandangan orang lain terhadap dirinya. Mereka cenderung mengkritik diri sendiri dan terlalu banyak berpikir overthinking.
Berikutyang bukan urgensi memiliki rasa malu adalah - 38126421. riskaamelia0853 riskaamelia0853 04.02.2021 B. Arab Sekolah Menengah Pertama terjawab Berikut yang bukan urgensi memiliki rasa malu adalah 1 Lihat jawaban Dijauhhi dan dikucilkan orang lain Iklan Iklan almirasalsabila111 almirasalsabila111
Oleh Prof. Dr. Achmad Satori Ismail DIRIWAYATKAN dari abdillah ibni Mas’ud ra ia berkata, Rasulullah telah bersabda pada suatu hari “Milikilah rasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya! Kami para sahabat berkata Wahai rasulullah sesungguhnya kami alhamdulillah telah memiliki rasa malu. Rasulullah bersabda “Bukan sekadar itu akan tetapi barangsiapa yang malu dari allah dengan sesungguhnya, hendaknya menjaga kepalanya dan apa yang ada di dalamnya, hendaknya ia menjaga perut dan apa yang didalamnya, hendaknya ia mengingat mati dan hari kehancuran. Dan barangsiapa menginginkan akhirat ia akan meninggalkan hiasan dunia. Barangisapa yang mengerjakan itu semua berarti ia telah merasa malu kepada allah dengan sesungguhnya. Musnad Ahmad BACA JUGA Pentingnya Rasa Malu Dalam hadits di atas kita dapat menarik empat karakteristik rasa malu yang sebenarnya yaitu 1. Menjaga kepala dan sekitarnya 2. Menjaga perut dan segala isinya 3. Mengingat mati dan hari kehancuran 4. Menjadikan akhirat sebagai tujuan akhir. Berikut penjelasan empat karakteristik rasa malu yang sebenarnya 1 Menjaga kepala dan sekitarnya Yang dimaksud dengan menjaga kepala dan sekitaranya adalah sebagai berikut Menjaga indera penglihatannya agar jangan sampai melihat kepada yang haram, mencari-cari kesalahan orang lain dan hal-hal lain yang diharamkan Allah swt. Yang termasuk menjaga indera penglihatan adalah menggunakannya untuk membaca Alquran, mempelajari lmu, merenungi alam semesta dan bersengan-sengan dengan memandang yang halal. Menjaga indera pendengaran dengan menggunakannya untuk mendengarkan bacaan Al Quran, mendengarkan pengajian dan menjauhi mendengarkan ghibah, namimah dsb Menjaga lisan dengan mempergunakannya untuk dzikrullah, memberi nasehat, menyampaikan dakwah dan menjauhi segala ucapa yang diharamkan seperti adudomba, mengumpat, menghina orang lain dsb. Menjaga mulut dengan membiasakan menggunakan siwak, memasukkan makanan yang halal dan menjauhi makanan yang haram. Menjauhi tertawa berlebihan dst. Menjaga muka dengan membiasakan bermuka manis, tersenyum dan ceria setiap ketemu kawan. Menjaga akal dengan menjauhi pemikiran yang sesat seperti pemikiran muktazilah, sekuler, islam liberal dsb. 2 Menjaga perut dan seisinya Yang dimaksud dengan menjaga perut seisinya adalah Menjaga hati dengan menanamkan keikhlasan dan melakukan muhasabah serta menjauhi penyakit hati seperti riya’, ujub, sombong, kufur, syirik dsb. Menjaga saluran pernafasan dengan tidak merusak saluran pernafasan seperti meokok dsb. Menjaga kemaluan dengan menjauhi apa-apa yang diharamkan Allah seperti perzinahan dsb. Menjaga saluran pencernaan dengan hanya memasukkan makanan dan minuman yang halal saja. 3 Mengingat mati dan hari kiamat Mengingat mati akan membawa kita kepada upaya untuk meningkatkan ketakwaan. Kematian cukuplah bagi kita sebagai nasihat agar kita taubat dan kembali kepada Allah. Orang yang berbahagia adalah orang yang senantiasa melupakan kebaikan, mengingat dosa, mengingat kematian, melihat orang yang lebih rendah di bidang dunia dan melihat orang yang lebih baik dalam bidang akhirat. Orang yang mengingat kematian akan terdorong untuk menyiapkan bekal menuju akhirat dan melu melanggar larangan Allah. BACA JUGA Muslimah Cantik, Menjadikan Malu sebagai Mahkota Kemuliaannya 4 Menjadikan akhirat sebagi tujuan akhir Assindi mengatakan dalam syarah Sunan Ibni Majah sbb Pengertian hadits “Bila kamu tdiak memiliki rasa malu maka berbuatlah semaumu” adalah bahwa rasa malu itu merupakan benteng manusia dari perbuatan buruk. Orang yang memeiliki rasa malu terhadap Allah akan menghalanginya dari pelanggaran agama. Orang yang malu terhadap manusia akan menjauhi semua tardisi jelek manusia. Bila rasa malu ini hilang dari seseorang maka ia tidak peduli lagi terhadap perbuatan dan ucapannya. Perintah dalam hadits ini memiliki makna pemberitahuan yang intinya bahwa setiap orang harus melihat perbuatannya. Bila perbuatan itu tidak menimbulkan rasa malu maka hendaknya ia melakukannya bila sebaliknya ia harus meninggalkannya. Sunan Ibni Majah syarh Sindi Bangsa Indonesia yang sudah tidak lagi memiliki budaya malu, harus kembali melaksanakan empat anjuran Rasulullah secara masif demi menuju kebangkitan menggapai kegemilangan di masa mendatang. [] SUMBER IKADI
Dalamkhutbah jum'at (6/6/2014) di Masjid Agung Tasikmalaya, membahas tentang manusia harus punya rasa malu. Katanya "Rasa malu itu terdapat dalam kepala dan perut". Rasa malu pada kepala, yaitu berkenaan dengan berfikir hal positif. Tidak boleh berfikir untuk saling menjatuhkan sesama manusia, karena kita semua adalah sama sebagai makhluk
MALU ADALAH AKHLAK ISLAMOleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه اللهعَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. رواه البخاريDari Abu Mas’ûd Uqbah bin Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”TAKHRÎJ HADÎTS Hadits ini shahîh diriwayatkan oleh Al-Bukhâri no. 3483, 3484, 6120, Ahmad IV/121, 122, V/273, Abû Dâwud no. 4797, Ibnu Mâjah no. 4183, ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath no. 2332, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ IV/411, VIII/129, al-Baihaqi X/192, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 3597, ath-Thayâlisi no. 655, dan Ibnu Hibbân no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân.PENJELASAN HADÎTS Pengertian Malu Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[1]Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah hidup, dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa hujan, tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[2]Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak perangai yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[3]Keutamaan Malu 1. Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” [Muttafaq alaihi]Dalam riwayat Muslim disebutkan,اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.“Malu itu kebaikan seluruhnya.” [4]Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang Malu adalah cabang keimanan. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”[5]3. Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”[6]4. Malu adalah akhlak para Malaikat. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.”[7]5. Malu adalah akhlak Islam. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.”[8]6. Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat. Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”[9]Abu Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.”[10]7. Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”[11]8. Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.”[12]Malu Adalah Warisan Para Nabi Terdahulu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda , “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu…”Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam . Di antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa Jalla adalah berakhlak malu.[13]Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at para nabi terdahulu.[14]Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Adalah Sosok Pribadi yang Sangat Pemalu Allah Azza wa Jalla berfirman يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya, tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar, dan Allah tidak malu menerangkan yang benar. [al-Ahzâb/ 3353]Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata,كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.“Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.”[15]Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah tabiat. Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan muktasab, sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab yang diperoleh berada pada puncak tertinggi.”[16]Makna Perintah Untuk Malu dalam Hadits Ini Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, di antaranya 1. Perintah tersebut mengandung arti peringatan dan ancaman. Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat atau kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ…perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.[Fushilat/4140]2. Perintah tersebut mengandung arti penjelasan. Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[17]Sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.[18]3. Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.”[19]Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama.[20]Malu Itu Ada Dua Jenis 1. Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.”[21]Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ takwa.”[22]2. Malu yang timbul karena adanya usaha. Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh mengenal Allah Azza wa Jalla dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.[23]Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , Abu Sufyan berkata,فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.“Demi Allah Azza wa Jalla , kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya tentang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.”[24]Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh sebagai Malu Menurut Syari’at Islam Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ اْلأَخِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.“Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.”[25]Malu yang Tercela Qâdhi Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.[27]Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.“Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.”[28]Ummul Mukminin Âisyah radhiyallâhu anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.”[29]Para wanita Anshâr radhiyallâhu anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang Sulaim radhiyallâhu anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi berjimâ’?” Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”[30]Wanita Muslimah dan Rasa Malu Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami…” [Al-Qashash/28 25]Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj bersolek, campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat.[31] Nas-alullaah as-salaamah wal suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati dan wajib menjaga istri dan anak-anak perempuannya agar tidak mengikuti pergaulan dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu seperti terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang bukan mahram, ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan lain-lain. Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan mereka di atas rasa malu karena rasa malu adalah perhiasan kaum wanita. Apabila ia melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang ada padanya pun ikut dari Rasa Malu Buah dari rasa malu adalah iffah menjaga kehormatan. Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa setia/menepati janji.Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup.[32]Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”[33]FAWÂÎD HADÎTSMalu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi malu semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh para Nabi ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih menyeluruh. Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah dari malu adalah iffah menjaga kehormatan dan wafa’ setia.Malu adalah bagian dari iman yang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan Azza wa Jalla Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta mencintai hamba-hamba-Nya yang Shallallahu alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang sangat mempunyai sifat dari malu adalah tidak tahu malu muka tembok, ia adalah perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan. Padahal Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,كُلُّ أُمَّـتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ. “Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.”[34]Para orang tua wajib menanamkan rasa malu kepada anak-anak dan Sab’ Mufrad, karya Imam Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul Hisân ala Shahîh Ibni Sunnah, karya Imam Kabîr, karya Imam Shaghîr, karya Imam Auliyâ’, karya Imam Abu Nu’ wat Tarhîb, karya Imam Bâri, karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalâni, cet. Dârul Sâlikîn, karya Ibnul Qayyim, cet. Dârul Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’, karya Ibnu Hibbân Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim al-Ahâdîts al-Jâmi’ish wa Fawâid minal Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al- fî Dhau-il Qurânil Karîm wal Ahâdîtsi ash-Shahîhah, karya Syaikh Sâlim bin Ied Nâzhirîn Syarah Riyâdhish Shâlihîn, karya Syaikh Sâlim bin Ied al-Hilâli.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Lihat Raudhatul Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’ hal. 53 [2] Madârijus Sâlikîn II/270. Lihat juga Fathul Bâri X/522 tentang definisi malu. [3] Lihat al-Haya’ fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah hal. 9. [4] Shahîh no. 6117 dan Muslim no. 37/60, dari Shahabat Imran bin Husain. [5] Shahîh dalam al-Adâbul Mufrad no. 598, Muslim no. 35, Abû Dâwud no. 4676, an-Nasâ-i VIII/110 dan Ibnu Mâjah no. 57, dari Shahabat Abû Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr no. 2800. [6] Shahîh Dawud no. 4012, an-Nasâ-i I/200, dan Ahmad IV/224 dari Ya’la Radhiyallahu anhu. [7] Shahîh no. 2401. [8] Shahîh Mâjah no. 4181 dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr I/13-14 dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 940. [9] Shahîh no. 24, 6118, Muslim no. 36, Ahmad II/9, Abû Dâwud no. 4795, at-Tirmidzî no. 2516, an-Nasâ-i VIII/121, Ibnu Mâjah no. 58, dan Ibnu Hibbân no. 610 dari Ibnu Umar radhiyallâhu anhu. [10] Fathul Bâri X/522. [11] Shahîh I/22, ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr I/223, al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb no. 3827, Abû Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ IV/328, no. 5741, dan selainnya. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3200. [12] Shahîh II/501, at-Tirmidzî no. 2009, Ibnu Hibbân no. 1929-Mawârid, al-Hâkim I/52-53 dari Abû Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 495 dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3199. [13] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam I/497 dan Qawâ’id wa Fawâ-id hal. 179-180. Cet. I Dâr Ibni Hazm. [14] Lihat Syarh al-Arba’în hal. 83 karya Ibnu Daqîq al-Îed. [15] Shahîh no. 6119. [16] Fathul Bâri X/522. [17] Shahîh no. 110, Muslim no. 30, dan selainnya dengan sanad mutawâtir dari banyak para Shahabat. [18] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam I/498 dan Qawâ’id wa Faawâid hal. 180 [19] Fathul Bâri X/523. [20] Lihat Madârijus Sâlikîn II/270. [21] Shahîh no. 6117 dan Muslim no. 37. [22] Jâmi’ul Ulûm wal Hikam I/501. [23] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hal. 181. [24] Shahîh no. 7. [25] Hasan no. 2458, Ahmad I/ 387, al-Hâkim IV/323, dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 4033. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 935. [26] Fathul Bâri X/522. [27] Lihat Qawâ’id wa Fawâid hal. 182. [28] Atsar shahîh Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab al-Ilmu bab al-Hayâ’ fil Ilmi dan Ibnu Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil Ilmi wa Fadhlihi I/534-535, no. 879. [29] Atsar shahîh Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-Ilmu bab al-Hayâ’ fil Ilmi secara mu’allaq. [30] Shahîh no. 130 dan Muslim no. 313. Maksud hadits ini ialah, wajib bagi laki-laki dan wanita mandi janabat apabila ia mimpi jimâ’ bersetubuh lalu keluar mani. Apabila ia mimpi jima’ tetapi tidak keluar mani maka tidak wajib mandi. Adapun jika suami-istri jimâ’ bersetubuh keduanya wajib mandi meskipun tidak keluar mani. [31] Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah hal. 153. [32] Raudhatul Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’ hal. 55. [33] Ibid hal. 55. [34] Shahîh no. 6096 dan Muslim no. 2990 dari Abû Hurairah .
. 104 248 225 461 443 378 171 155

berikut yang bukan urgensi memiliki rasa malu adalah